Powered By Blogger

Senin, 29 Oktober 2012

SOSIOLOGI DAN ANROPOLOGI PENDIDIKAN



Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
1.      Sejarah Sosiologi Pendidikan
Kata atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah.
Dan bidang kajian sosiologi pendidikan sendiri, berangkat dari keinginan para sosiologi untuk meyumbangkan pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Dalam pandangan mereka, pada saat itu sosiologi pendidikan diasosiakan dengan konsep ”Educational Sociology.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan mengenai ”Educational Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara sosiologi dengan pendidikan.
Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan ditandai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke menganggap sosiologi mampu menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
Adapun perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dana kesadaran bahwa sosiologi sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

2.      Pengertian Sosiologi Pendidikan
a.       Sosiologi
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata latin “socius” dan kata Yunani “logos”. “Socius” berarti kawan, sahabat, sekutu, rekan, masyarakat. “logos” berarti ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.
b.      Pendidikan
Paedegogic berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan ”again” diterjemahkan membimbing. Jadi, pendidikan ialah suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus.
c.       Sosiologi Pendidikan
R.J. Stalcup mengemukakan bahwa sociology of education merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
Menurut George Payne, yang kerap disebut bapak Sosiologi pendidikan, secara spesifik memandang sosiologi pendidikan sebagai studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segala segi ilmu yang dterapkan. Baginya, sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan sosiologis. Tetapi juga memberikan guru-guru, para peneliti yang efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan.
Jadi, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.

3.      Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Dalam hubungan ini, Nasution (2004:6-7), mengemukakan ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi pokok-pokok berikut ini:
1.      Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
·         Hubungan pendidikan dengan sistem sosial atau struktur social
·         Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
·         Fungsi pendidikan dalam kebudayaan
·         Fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo.
2.      Hubugan antar manusia di dalam Sekolah
·         Pola interaksi sosial dan stuktur masyarakat Sekolah
·         Pengaruh Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak disekolah / lembaga pendidikan
·         Peranan sosial guru / tenaga pendidikan
·         Hakikat kepribadian guru / tenaga pendidikan
·         Fungsi Sekolah / lembaga pendidikan dalam sosial murid / peserta didik.
3.      Hubungan lembaga pendidikan dalam masyarakat
·         Pengaruh masyakarat atas organisasi Sekolah /lembaga pendidikan
·         Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistematis sosial dalam masyarakat luar sekolah.
·         Hubungan antara Sekolah dan masyarakat pendidikan.
·         Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi Sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam kehidupan masyarakat.






Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Antroplogi Pendidikan
1.      Sejarah Antropologi Pendidikan
Sejarah tentang antroplogi pendidikan tidak bisa kita pisahkan dari perkembangan ilmu antropologi itu sendiri, karena antropologi pendidikan merupakan bagian dari antroplogi.
Antroplogi sebagai sebuah ilmu mengalami tahapan-tahapan dalam dalam perkembangannya. Koentjaraningrat (1986:1-5) membaginya ke dalam 4 tahap, yaitu:
  1. Tahap pertama, ditandai dengan tulisan tangan bangsa Eropa yang melakukan penjajahan di benua Afrika, Asia, dan Amerika pada akhir abad ke-15. Tulisan itu merupakan deskripsi keadaan bangsa-bangsa yang mereka singgahi, mencakup adat istiadat, suku, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik.
  2. Tahap kedua, mereka menginginkan tulisan atau deskripsi yang tersebar itu dikumpulkan jadi satu dan diterbitkan. Isinya disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi. Dari sinilah bangsa-bangsa digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar tahun 1860, terbit karangan yang mengaklasifikasikan berbagai kebudayaan tingkat evolusinya. Dengan demikian pada tahap kedua ini, antroplogi telah bersifat akademis.
  3. Tahap ke tiga, antropologi menjadi ilmu yang praktis. Pada tahap ini, antropologi mempalajari masyarakat jajahan demi kepentingan kolonial. Hal ini berlangsung sekitar awal abad ke-20. Pada abad ini, antropologi semakin penting untuk mengukuhkan dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat di daerah jajahannya. Dengan antropologi, bangsa Eropa mempelajari dan tahu bagaimana menghadapi masyarakat daerah jajahannya.
  4. Tahap ke empat, antropologi berkembang sangat luas, baik dalam akurasi bahan pengetahuanya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20. Sasaran penelitian antropologi di masa ini bukan lagi suku bangsa primitiv dan bangsa Eropa Barat, tapi beralih pada penduduk pedesaan, baik mengenai keanekaragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya termasuk suku bangsa di daerah pedesaan di Amerika dan Eropa Barat itu sendiri, peralihan sasaran penelitian itu terutama disebabkan oleh munculnya ketidaksenangan terhadap penjajahan dan makin berkurangnya masyarakat yang dianggap primitiv.
Di Indonesia, sebagai negara yanag sedang membangun, sangat diperlukan pengenalan kondisi yang lebih baik dan lebih lengkap agar pembangunan yang diberlakukan tidak menimbulkan kesenjangan dengan kondisi yang sejatinya. Antropologi pendidikan sering sejalan dengan perkembangan tersebut. Dewasa ini antropologi pendidikan sendiri atau bersama-sama dengan sosiologi pendidikan, menjadi mata kuliah wajib di lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
2.      Pengertian Antropologi Pendidikan
a.       Antroplogi
Antropologi berasal dari kata Yunani ”antrophos” yang berarti ”manusia” dan ”logos” yang berarti ”ilmu”. Jadi antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk pada fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
b.      Pendidikan
Ngalim Purwanto (1995:11) menyatakan bahwa pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Esensi dari pendidikan itu sendiri ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda setiap masyarakat atau bangsa.
c.       Antropologi Pendidikan
Antropologi pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Menurut Shomad (2009:1), antropologi pendidikan mengkaji penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, antropologi pendidikan bukan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi.

3.      Ruang Lingkup Antropologi Pendidikan
Ralphlinton dalam Shomad (2009:3) menganggap kebudayaan adalah warisan sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai dua fungsi. Yaitu penyesuaian diri dengan masyarakat dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
Shomad (2009:3-4), menjelaskan implementasi pendidikan sebagai penyesuaian diri dengan masyarakat, lingkungan dan kebudayaan sebagai bentuk ruang lingkup antroplogi pendidikan berlangsung dalam proses:
a.       Proses Sosialisasi:
Proses ini dimulai sejak bayi baru lahir. Bayi berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, hingga terjadi komunikasi timbal balik dan seterusnya hingga ia tumbuh dan berkembang.
b.      Proses Enkulturasi
Enkulturasi, artinya pembudayaan. Yang dimaksud adalah proses pembudayaan anak agar menjadi manusia berbudaya. Dalam proses ini yaitu sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus.
c.       Proses Internalisasi
Proses internalisasi yaitu proses penerimaan dan menjadikan warisan sosial (pengetahuan budaya) sebagai isi kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku sehari-hari selama hayat masih dikandung badan. Dalam proses ini kita mendapatkan adanya perbedaan pada masing-masing individu berupa perbedaan kepribadian dan pengalaman.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI KELAS



Kegiatan Mengajar dan Mengelola Kelas
Kegiatan guru didalam kelas meliputi dua hal pokok, yaitu mengajar dan mengelola kelas. Kegiatan mengajar dimaksudkan secara langsung menggiatkan siswa mencapai tujuan-tujuan seperti menelaah kebutuhan-kebutuhan siswa, menyusun rencana pelajaran, menyajikan bahan pelajaran kepada siswa, mengajukan pertanyaan kepada siswa, menilai kemajuan siswa adalah contoh-contoh kegiatan mengajar. Kegiatan mengelola kelas bermaksud menciptakan dan mempertahankan suasana (kondisi) kelas agar kegiatan mengajar itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Memberi ganjaran dengan segera, mengembangkan hubungan yang baik antara guru dan siswa, mengembangkan aturan permainan dalam kegiatan kelompok adalah contoh-contoh kegiatan mengelola kelas.
Masalah Pengajaran dan Masalah Pengelolaan Kelas
Dalam menangani tugasnya, guru-guru sering menghadapi permasalahan dengan kegiatan-kegiatan didalam kelasnya. Permasalahan ini meliputi dua jenis juga, yaitu yang menyangkut pengajaran dan yang menyangkut pengelolaan kelas. Guru-guru harus mampu membedakan kedua permasalahan itu dan menemukan pemecahannya secara tepat. Amat sering terjadi guru-guru menangani masalah yang bersifat pengajaran dengan pemecahan yang bersifat pengelolaan dan sebaliknya. Misalnya, seorang guru berusaha membuat penyajian pelajaran lebih menarik agar siswa yang sering tidak masuk menjadi lebih tertarik untuk menghadiri pelajaran itu, padahal siswa tersebut tidak senang berada di kelas itu karena dia merasa tidak diterima oleh kawan-kawannya. Pemecahan seperti ini tentu saja tidak tepat. “Membuat pelajaran lebih menarik” adalah permasalahan pengajaran, sedangkan “diterima atau tidak diterima oleh kawan” adalah permasalahan pengelolaan. Masalah pengajaran harus ditangani dengan pemecahan yang bersifat pengajaran dan masalah pengelolaan harus ditangani dengan pemecahan yang bersifat pengelolaan.
Untuk dapat menangani masalah-masalah pengelolaan kelas secara efektif guru harus mampu:
1.      Mengenali secara tepat berbagai jenis masalah pengelolaan kelas baik yang bersifat perorangan maupun kelompok;
2.      Memahami pendekatan mana yang cocok dan tidak cocok untuk jenis masalah tertentu.
3.      Memilih dan menetapkan pendekatan yang paling tepat untuk memecahkan masalah yang dimaksud.
Ada dua jenis masalah pengelolaan kelas, yaitu yang bersifat perorangan dan yang bersifat kelompok.
1)      Masalah Perorangan
Penggolongan masalah perorangan ini didasarkan atas anggapan dasar bahwa tingkah laku manusia itu mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Jika seorang individu gagal mengembangkan rasa memiliki dan rasa dirinya berharga maka dia akan bertingkah laku menyimpang. Ada empat jenis penyimpangan tingkah laku, yaitu:
1.      Tingkah laku menarik perhatian orang lain
Seorang siswa yang gagal menemukan kedudukan dirinya secara wajar dalam suasana hubungan sosial yang saling menerima biasanya (secara aktif ataupun pasif) bertingkah laku mencari perhatian orang lain. Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang aktif dapat dijumpai pada anak-anak yang suka pamer, melawak (memperolok), membikin onar, memperlihatkan kenakalan, terus menerus bertanya; singkatnya, tukang rewel. Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang pasif dapat dijumpai pada anak-anak yang malas atau anak-anak yang terus meminta bantuan orang lain.

2.      Mencari kekuasaan
Pencari kekuasaan yang aktif suka mendekat, berbohong, menampilkan adanya pertentangan pendapat, tidak mau melakukan yang diperintahkan orang lain dan menunjukkan sikap tidak patuh secara terbuka. Pencari kekuasaan yang pasif tampak pada anak-anak yang amat menonjolkan kemalasannya sehingga tidak melakukan apa-apa sama sekali. Anak-anak ini amat pelupa, keras kepala, dan secara pasif memperlihatkan ketidakpatuhan.
3.      Menuntut balas  
Siswa yang menuntut balas mengalami frustasi yang amat dalam dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya mencari sukses dengan jalan menyakiti orang lain. Keganasan, penyerangan secara fisik (mencakar, menggigit, menendang) terhadap sesama siswa, petugas ataupun terhadap guru. Anak-anak penuntut balas yang aktif sering dikenal sebagai anak-anak yang ganas dan kejam, sedang yang pasif dikenal sebagai anak-anak pencemberut dan tidak patuh (suka menetang.
4.      Memperlihatkan ketidakmampuan.
Siswa yang memperlihatkan ketidakmampuan pada dasarnya merasa amat tidak mampu berusaha mencari sesuatu yang dikehendakinya (yaitu rasa memiliki) yang bersikap menyerah terhadap tantangan yang menghadangnya; bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada dihadapannya hanyalah kegagalan yang terus menerus. Perasaan tanpa harapan dan tidak tertolong lagi ini biasanya diikuti dengan tingkah laku mengundurkan atau memencilkan diri. Sikap yang memperlihatkan ketidakmampuan ini selalu berbentuk pasif.
2)      Masalah Kelompok
Dikenal adanya tujuh masalah kelompok dalam kaitannya dengan pengelolaan kelas:
  1. Kekurang-kompakan
Kekurang-kompakan kelompok ditandai dengan adanya kekurang-cocokkan (konflik) diantara para anggota kelompok. Siswa-siswa di kelas seperti ini akan merasa tidak senang dengan kelompok kelasnya sehingga mereka tidak merasa tertarik dengan kelas yang mereka duduki itu. Para siswa tidak saling bantu membantu.
  1. Kekurangmampuan mengikuti peraturan kelompok
Jika suasana kelas menunjukkan bahwa siswa-siswa tidak mematuhi aturan-aturan kelas yang telah ditetapkan, maka masalah yang kedua muncul, yaitu kekurang-mampuan mengikuti peraturan kelompok. Contohnya: berisik, berbicara keras-keras atau mengganggu kawan padahal waktu itu semua siswa diminta tenang bekerja di tempat duduknya masing-masing; dorong-mendorong waktu antri di kantin dll.
  1. Reaksi negatif terhadap sesama anggota kelompok
Reaksi negatif terhadap anggota kelompok terjadi apabila ekspresi yang bersifat kasar yang dilontarkan terhadap anggota kelompok yang tidak diterima oleh kelompok itu, anggota kelompok yang menyimpang dari aturan kelompok atau anggota kelompok yang menghambat kegiatan kelompok. Anggota kelompok dianggap “menyimpang” ini kemudian “dipaksa” oleh kelompok itu untuk mengikuti kemauan kelompok.
  1. Penerimaan kelas (kelompok) atau tingkah laku yang menyimpang
Penerimaan kelompok (kelas) atas tingkah laku yang menyimpang terjadi apabila kelompok itu mendorong timbulnya dan mendukung anggota kelompok yang bertingkah laku menyimpang dari norma-norma sosial pada umumnya. Contoh yang amat umum ialah perbuatan memperolok-olokan (memperlawakkan), misalnya membuat gambar-gambar yang “lucu” tentang guru. Jika hal ini terjadi maka masalah kelompok dan masalah perorangan telah berkembang dan masalah kelompok kelihatannya lebih perlu mendapat perhatian.
  1. Kegiatan kelompok yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan, berhenti melakukan kegiatan dan meniru-niru kegiatan anggota lainnya
Dalam hal ini kelompok itu mereaksi secara berlebihan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak berarti atau bahkan memanfaatkan hal-hal kecil untuk mengganggu kelancaran kegiatan kelompok itu. Contoh yang sering terjadi ialah para siswa menolak untuk melakukan karena mereka beranggapan guru tidak adil. Jika hal ini terjadi, maka suasana diwarnai oleh ketidaktentuan dan kekhawatiran.
  1. Ketiadaan semangat, tidak mau bekerja, dan tingkah laku agresif atau protes
Masalah kelompok yang paling rumit ialah apabila kelompok itu melakukan protes dan tidak mau melakukan kegiatan, baik hal itu dinyatakan secara terbuka maupun terselubung. Permintaan penjelasan yang terus menerus tentang sesuatu tugas, kehilangan pensil, lupa mengerjakan tugas rumah atau tugas itu tertinggal di rumah, tidak dapat mengerjakan tugas karena gangguan keadaan tertentu, dan lain-lain merupakan contoh-contoh protes atau keengganan bekerja.
  1. Ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan
Ketidak-mampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan terjadi apabila kelompok (kelas) mereaksi secara tidak wajar terhadap peraturan baru atau perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan jadwal kegiatan, pergantian guru dan lain-lain. Apabila hal itu terjadi sebenarnya para siswa (anggota kelompok) sedang mereaksi terhadap suatu ketegangan tertentu; mereka menganggap perubahan yang terjadi itu sebagai ancaman terhadap keutuhan kelompok. Contoh yang paling sering terjadi ialah tingkah laku yang tidak sedap pada siswa terhadap guru pengganti, padahal biasanya kelas itu adalah kelas yang baik.